FilomenaSmak.sch.id – Yudel Neno, Pr – Guru: Pilar Kebangkitan Bangsa dalam Pandangan Kaisar Hirohito dan Refleksi Para Filsuf
Setelah pengeboman Hiroshima dan Nagasaki pada 6 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumpulkan para Jenderalnya dan menanyakan, “Berapa jumlah guru yang tersisa?” Pertanyaan ini mencerminkan kesadaran bahwa pendidikan adalah kunci untuk membangun kembali Jepang pasca kehancuran karena perang…dan terutama, dari pertanyaan Kaisar, nampak bahwa pendidikan supaya maju, tidak bisa tanpa guru.
Para Jenderal awalnya bingung, mengira Kaisar akan menanyakan tentang kekuatan militer yang tersisa. Namun, Kaisar Hirohito menekankan bahwa tanpa guru, bangsa tidak dapat belajar dan maju, sehingga penting untuk mengumpulkan dan memberdayakan guru yang masih ada untuk memulihkan negara.
Pertanyaan Kaisar itu, dilatarbelakangi oleh konteks keprihatinan mendalam tentang bagaimana bangsa Jepang akan bangkit kembali setelah kehancuran yang luar biasa.
Bahwasannya, dari pertanyaan yang ditanyakan dari Si Kaisar itu, jelas mencerminkan kesadaran bahwa pendidikan adalah fondasi utama untuk membangun kembali masyarakat dan mempersiapkan generasi baru untuk masa depan. Dan tugas itu lebih tepat di tangan seorang guru dan lebih mulai di pundak seorang guru.
Fokus selalu berarti perhatian khusus. Bisa juga diartikan sebagai ketajaman dalam membidik suatu sasaran tanpa terganggu atau membiarkan diganggu oleh sesuatu yang lain.
Dalam arti di atas, jelaslah bahwa Guru disebutkan sebagai fokus, karena posisi dan perannya sangat penting bagi karakter personal setiap orang. Apabila karakter mereka baik, maka kinerja kolektif, dijamin akan baik pula.
Beberapa alasan di bawah ini, dijelaskan untuk memperlihatkan bagiamana seorang guru dapat dipahami sebagai sasaran fokus.
Jepang memiliki tradisi panjang yang menghargai pendidikan sebagai kunci keberhasilan individu dan kemajuan bangsa. Guru dianggap sebagai agen utama dalam mencetak karakter dan kecerdasan generasi muda.
Pasca perang, masyarakat Jepang tidak hanya menghadapi kehancuran fisik, tetapi juga krisis moral dan psikologis. Guru dipandang sebagai pemimpin dalam memulihkan semangat bangsa dan menanamkan nilai-nilai seperti kerja keras, disiplin, dan solidaritas.
Jepang menyadari bahwa teknologi, pengetahuan, dan keterampilan adalah kunci untuk bangkit kembali sebagai bangsa yang kompetitif di dunia internasional. Guru memainkan peran penting dalam memberikan pendidikan yang mendukung tujuan ini.
Fokus pada guru setelah bom Hiroshima menunjukkan betapa pentingnya pendidikan dalam menghadapi krisis besar. Jepang berhasil bangkit menjadi salah satu negara maju dalam waktu beberapa dekade setelah Perang Dunia II, sebagian besar karena investasi besar mereka dalam pendidikan, penelitian, dan pengembangan sumber daya manusia.
Kisah ini sering digunakan sebagai simbol pentingnya pendidikan dan peran guru dalam membangun kembali peradaban yang hancur.
Upaya peletakan konsep tentang guru dan apa saja peran dari guru, juga turut direfleksikan oleh para filsuf. Pemikiran beberapa Filsuf di bawah ini, kiranya menjadi penting bagi kita, ketika kita ingin berbicara tentang guru.
Tentu tidak asing, apabila para Filsuf di bawah ini berbicara tentang guru. Sebagaimana posisi Filsafat di tengah ilmu lainnya merupakan Ibu dari segala Ilmu – Mother of Science – Philosophia est Mater Omnium Scientiarum, maka posisi para Filsuf dan terutama refleksi mereka tentang guru, peran guru dan bagaimana seharusnya seorang guru, tetap relevan dan signifikan bagi kita.
Menurut Socrates, guru adalah pemberi kebijaksanaan dan bukan penguasa pengetahuan. Socrates menekankan bahwa seorang guru tidak memberikan pengetahuan secara langsung, tetapi membimbing murid untuk menemukan kebenaran melalui dialog dan refleksi. Dalam metode elenchus-nya (berupa dialog berisi pertanyaan-pertanyaan kritis untuk menguji konsistensi dan keyakinan seseorang), guru adalah pemberi dorongan bagi murid untuk berpikir kritis, bukan sekadar penerima penghormatan atau status. Maka jelas bahwa dalam status sebagai pemandu kebenaran, dari seorang guru, dituntut keberanian untuk mengemukakan pertanyaan dan kerendahan hati untuk mendengarkan dan menerima dialog refleksi.
Socrates juga percaya bahwa seorang guru harus menjadi teladan moral, memberikan kebajikan kepada muridnya melalui tindakan nyata. Ia justru hanya dapat menjadi guru atau layak disebut sebagai guru, apabila ia mampu menunjukkan sikap dan perilakunya yang berdaya transformatif dan bercorak katalisator. Kebenaran sikap dan perilaku seorang guru, terukir dan terukur berdasarkan kecakapan kompilatifnya meramu dan meracik berbagai potensi dan realitas menjadi produksi kebijaksanaan.
Dalam The Republic, Plato menggambarkan guru sebagai seorang arsitek jiwa, yang memberikan bentuk kepada intelektual dan moral murid-muridnya. Guru adalah pemberi ide-ide luhur yang menuntun murid menuju “Dunia Ide”, yang merupakan puncak pengetahuan.
Guru bertanggung jawab memberikan pendidikan yang mempersiapkan murid untuk melayani masyarakat, bukan sekadar menerima keuntungan pribadi.
Aristoteles memandang guru sebagai pemberi ethos atau kebiasaan baik yang diperlukan untuk kehidupan bermoral. Dalam Nicomachean Ethics, ia menyebut bahwa pendidikan adalah proses pemberian karakter yang benar kepada murid.
Guru memberikan dasar intelektual dan moral yang memungkinkan murid untuk berkembang menjadi warga negara yang baik.
Confucius menekankan pentingnya guru sebagai pemberi nilai-nilai seperti kesalehan, rasa hormat, dan harmoni sosial. Guru adalah pemberi ren (kebajikan cinta kasih) dan li (kesopanan), sehingga murid dapat hidup sesuai dengan nilai-nilai yang mendukung masyarakat yang adil dan teratur.
Ia juga memperingatkan agar guru tidak hanya berorientasi pada penghormatan atau materi, tetapi pada dedikasi untuk melayani masyarakat.
Dalam Pedagogy of the Oppressed, Freire menggambarkan guru sebagai pemberi kesadaran kritis yang membebaskan. Guru memberikan alat kepada murid untuk memahami struktur penindasan dan memberdayakan mereka untuk menciptakan perubahan.
Guru tidak boleh menjadi pasif atau hanya menerima sistem pendidikan yang ada, tetapi harus proaktif memberikan pembelajaran yang transformatif.
Kant percaya bahwa pendidikan adalah tugas moral, dan guru berperan memberikan prinsip-prinsip etika universal kepada murid. Dalam Critique of Practical Reason, ia menyebutkan pentingnya guru dalam membentuk akal praktis murid sehingga mereka dapat bertindak berdasarkan kewajiban moral.
John Dewey menekankan peran guru sebagai fasilitator pengalaman belajar yang bermakna. Guru memberikan murid alat dan kesempatan untuk belajar melalui eksperimen dan pengalaman nyata, menciptakan lingkungan di mana murid dapat berkembang secara mandiri.
Para Filsuf sependapat bahwa guru harus menjadi pemberi, baik dalam bentuk pengetahuan, kebajikan, atau nilai-nilai moral. Mereka menolak gagasan bahwa guru hanya sebagai penerima penghormatan atau penghargaan materi. Sebaliknya, guru adalah pemberi yang tanpa pamrih, yang membangun generasi baru dengan menciptakan manusia yang berpikir kritis, bermoral, dan berkontribusi untuk masyarakat. Dalam kerelaan dan tindakan memberi, seorang guru pantas disebut sebagai Pahlawan tanpa Tanda Jasa.
Oleh Yudel Neno, Pr
Tinggalkan Komentar