FilomenaSmak.sch.id – oleh Rm. Yudel Neno, Pr – Gereja Katolik memiliki perspektif tersendiri tentang politik. Baginya, politik adalah ruang dan aktivitas yang memerlukan pembenahan terus-menerus. Pandangan ini tidak berarti Gereja menempatkan diri pada satu bagian yang lain sama sekali kemudian memandang politik sebagai “yang harus diadili” sebagaimana putusan hukum oleh hakim terhadap seorang terdakwa.
Sebaliknya, politik malah menuntut peranan Gereja, demi mempertahankan orisinalitas konsentrasinya. Politik tanpa nilai-nilai Injil akan berdampak pada hilangnya atau tenggelamnya aspek sakramentalitas. Demikian juga, kalau Gereja terlalu jauh masuk (intervensi berlebihan) dalam urusan politik, apalagi politik kekuasaan (praktis), Gereja terancam akan kehilangan aspek unitasnya.
Gereja sebagai persekutuan para beriman tidak dapat menyangkal bahwa jaminan kesejahteraan terhadap masyarakat merupakan tugas khas negara yang patut dicapai melalui ruang politik. Patut diketahui pula bahwa urusan teknis terkait dengan kesejahteraan masyarakat, dalam arti tegas bukanlah urusan Gereja sebab Gereja bukanlah lembaga politik. Walaupun bukan lembaga politik, panggilan untuk menginjili politik merupakan tugasnya karena berurusan langsung dengan kepentingan banyak orang.
Paus Paulus VI dan Paus Yohanes Paulus II, dalam refleksi tentang keterlibatan sosial Gereja dalam bidang politik, menunjukkan teladan yang baik bahwa Gereja dalam pendirian moral dan atas daya dorong imannya, terpanggil untuk menjadikan politik sebagai ruang terlaksananya misi Gereja demi keselamatan universal umat manusia. Di sini, ada titik temu antara missio dan communio bahwa panggilan Gereja untuk melaksanakan misi keselamatannya tidak dapat menghindari persekutuan dengan dunia dalam segala aktivitas perpolitikannya. Atas cara ini, Gereja tidak boleh terlalu nekat untuk mencampuri urusan perpolitikan negara, sejauh segala perilaku dan kebijakan tidak mencoreng atau merugikan iman dan moralitas Gereja.
Saat ini merupakan saat politik. Safari dan blusukan politis disaksikan masyarakat di mana-mana dan dari mana-mana. Dari antara beberapa kandidat politik yang bertarung, tidak sedikit perjuangan masing-masing paket. Upaya Hegemoni politik dimainkan, dan tidak heran, seringkali memicu konflik. Sebagai upaya mendongkrak pamor, kampanye hitam (black campaign) dan kampanye negatif (negative campaign) malah dipilih dan realisasinya dipandang sebagai yang satu-satunya.
Di Indonesia, saat ini, masih sangat nampak dan kuat, ekses politiknya. Para Uskup se-Indonesia dalam sidang tahunan Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI) tahun 2017 lalu, merilis Nota Pastoral KWI 2018 bertajuk dengan tema : Panggilan Gereja Dalam Hidup Berbangsa-Menjadi Gereja Yang Relevan dan Signifikan. Dalam Nota Pastoral ini, para Uskup menegaskan gerak langkah mereka tentang keterlibatan sosial Gereja dalam bidang-bidang kehidupan umat manusia, termasuk bidang politik, dengan mengintegrasikan spiritualitas kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan masyarakat Indonesia zaman ini sebagai bagian integral dari gereja yang mesti terus dipupuki dalam semangat cinta kasih yang berkanjang dalam iman Kristiani.
Berkanjang dalam iman Kristiani, tidak lain dan tidak bukan merupakan suatu komitmen untuk membuahkan karya-karya misioner Gerejani sebagai bentuk pelaksanaan amanat misi Yesus sendiri tentang bagaimana menjadi saksi, garam dan terang bagi dunia. Hal itu terlaksana, bukan karena Gereja memandang dunia dan politik sebagai yang asing. Justru demi suatu dunia yang tenteram, muncullah tuntutan katolisitas Gereja bahwa Gereja pada prinsipnya diutus oleh Allah untuk menjadi Sakramen universal keselamatan bagi dunia. Gereja melalui karya pewartaannya, dunia melalui aktivitas perpolitikannya; sama-sama terpanggil untuk mengabdi pada martabat manusia yang bermuara pada kesejahteraan bersama. Di sini, konsep tentang menyucikan dunia berarti menyucikan manusia-manusianya.
Ajaran Yesus tentang bagaimana saling memperlakukan, dalam semangat kerja sama diintegrasikan dengan nilai-nilai kebangsaan bermuara pada menjunjung tinggi sikap solidaritas, subsidiaritas, kesejahteraan umum dan option for the poor. Dalam arti ini, kita paham bahwa keterlibatan sosial Gereja dalam menyucikan dunia, aspek sakramentalnya justru makin nampak melalui semangat solidaritas, mengabdi kesejahteraan umum, subsidiaritas dan berpihak pada kaum miskin dan lemah. Mengabdi manusia berarti mengatakan sikap solider, pro kesejahteraan umum, sikap subsidier, dan memperhatikan nasib manusia yang miskin dan lemah karena dijejali dengan berbagai kebijakan tidak adil.
Dengan pro dan peduli terhadap kepentingan banyak orang, Gereja semakin menunjukkan orisinalitasnya sebagai pakar perihal kemanusiaan. Sebagai pakar perihal kemanusiaan, Gereja merupakan persekutuan umat beriman yang terpanggil untuk memandang dunia dan politik sebagai ruang yang dihidupi oleh umat manusia sebagaimana Kristus sendiri memilih untuk datang dan hadir di tengah-tengah dunia.
Kristus sebagai Putera Allah, dalam segala pewartaanNya, Ia menempatkan Kerajaan Allah sebagai kunci utama dan sebagai model Kristiani bagi dunia untuk mengusahakan kesejahteraan umat manusia. Karena itu, panggilan Gereja dalam dunia dan politik, sesungguhnya berciri khas teologis dan kristologis. Ciri khas teologis dan kristologis ini hanya dapat dimengerti dalam kerangka bahwa segala upaya yang dilakukan, dilakukan demi kesejahteraan dan keselamatan umat manusia. Di sini muncul pula ciri khas antropologis yang menaruh perhatian terhadap kesejahteraan umat manusia sebagai “yang paling dikehendaki oleh Bapa dan Putera”.
Dalam terang teologi penciptaan, memperjuangkan kesejahteraan berarti menjadikan Bapa semakin hidup dengan menciptakan pola penyucian dan pewaartaan yang menjawabi tantangan zaman. Dalam terang kristologi, terjadi pertukaran yang sangat mengagumkan antara Allah dan manusia; Allah menjadi manusia; manusia diangkat kodratnya menjadi anak-anak Allah. Dalam terang antropologi Kristiani, manusia sebagai ciptaan yang unik dan istimewa dengan segala potensi yang dikaruniakan kepadanya, berupaya untuk membangun mitra kerja demi bonum commune, dalam terang relasi kasih Trinitas sebagai model dalam membangun persekutuan hidup. Dalam arti ini, perjuangan tentang kesejahteraan manusia hanya dapat berarti bagi Gereja dalam segala karya misionernya, kalau manusia itu sendiri benar-benar ditempatkan pertama-tama sebagai makhluk ciptaan yang mendahului statusnya sebagai warga negara dan anggota Gereja.
Atas pemahaman seperti ini, sebagai warga negara dan anggota Gereja perlu menghayati martabatnya sebagai kodrat original terberi, yang perjuangan terhadapnya sama sekali tidak bergantung pada statusnya sebagai warga negara maupun sebagai anggota Gereja. Justru dengan konsep seperti ini, Gereja dan negara segera disadarkan bahwa martabat manusia adalah yang pertama dan terutama dalam perjuangan kesejahteraan daripada sekedar status-status sosial yang dikenakan kepada manusia.
Perjuangan terhadap kesejahteraan umat manusia akhirnya perlu memandang dunia dan politik sebagai ruang untuk membangun relasi dan mitra kerja. Filsuf Yunani kuno yakni Aristoteles telah lama menandaskan tentang sosialitas manusia yang begitu berarti justru karena apa yang mereka perjuangkan adalah demi kebaikan bersama yang disebutnya kebaikan tertinggi yakni kebahagiaan.
Akhirnya, mengabdi manusia berarti memuliakan Allah. Manusia sebagai aktor politik, manusia sebagai makhluk penghuni dunia, tidak boleh dilepaskan dari kodratnya sebagai ciptaan yang berharga. Dalam status sebagai ciptaan, berpolitik berarti menjadikan dunia semakin berkembang dan bertumbuh. Perjuangan politik tanpa mengabdi pada martabat manusia sebenarnya tidak memperjuangkan apa-apa. Menyucikan dunia tanpa prioritas terhadap manusia sebagai subyek pembangunan justru bertentangan dengan status Gereja sebagai pakar perihal kemanusiaan.
Oleh Rm. Yudel Neno, Pr
Tinggalkan Komentar