Pagi itu, langit biru menaungi sebuah desa kecil di lembah pegunungan. Riuh anak-anak sekolah dengan seragam putih abu-abu memenuhi jalanan berdebu, berjalan kaki menuju gedung sekolah tua. Hari itu adalah Hari Guru, tetapi tidak ada perayaan besar, tidak ada panggung megah, hanya suara langkah kecil para murid, membawa bunga-bunga liar untuk diberikan kepada guru mereka.
Di salah satu sudut desa, di rumah yang sederhana, seorang guru tua bernama Pak Naldo sedang merapikan buku catatan murid-muridnya. Ia mengenang perjuangan panjangnya sebagai pendidik. Gajinya kecil, fasilitas sekolah terbatas, tetapi semangatnya tak pernah pudar. Pak Naldo adalah gambaran nyata dari guru-guru lain di desa itu—mereka yang mengajar bukan untuk kekayaan, tetapi untuk mencerdaskan. Di tengah momen kontemplasinya, ia teringat pada sebuah cerita dari Kitab Suci tentang seorang janda miskin yang memasukkan dua peser ke dalam peti persembahan.
Bayangkan seorang perempuan tua yang berjalan perlahan ke Bait Allah. Bajunya lusuh, tetapi langkahnya teguh. Ia menggenggam dua keping kecil di tangannya. Orang-orang kaya yang datang lebih dulu meletakkan persembahan mereka dengan gemerlap, sementara janda itu, hampir tak terlihat di antara kerumunan, mendekat dan memasukkan dua peser ke dalam peti persembahan. Ia tidak berkata apa-apa, tidak menoleh ke kiri dan kanan. Yang ia miliki hanyalah hati yang tulus.
Pak Naldo mengenang momen serupa ketika seorang muridnya pernah datang tanpa buku dan alat tulis. Anak itu tetap duduk di kelas dengan tangan kosong tetapi sorot mata penuh keinginan belajar. Sama seperti janda miskin itu, ia memberikan segalanya yang ia punya: kesungguhan.
Yesus berkata, “Janda miskin ini memberikan lebih banyak dari semua orang.” Ucapan itu mengejutkan para murid-Nya. Mereka tidak memahami bahwa nilai pemberian tidak terletak pada jumlahnya, tetapi pada kedalaman hati yang memberi.
Pak Naldo sering berpikir tentang guru-guru di desanya. Banyak dari mereka bekerja tanpa pujian atau penghargaan, tetapi mereka tetap hadir setiap hari, membimbing murid-murid dengan cinta yang tak terukur. “Mereka adalah janda-janda miskin di dunia pendidikan,” gumamnya pelan.
“Pak, kenapa kita harus tetap mengajar padahal gajinya sedikit?” tanya seorang guru muda kepada Pak Naldo. Ia hanya tersenyum, lalu menjawab, “Pendidikan itu seperti dua peser. Kita mungkin merasa kekurangan, tetapi saat kita memberi dari apa yang kita miliki, dunia berubah.”
Kisah janda miskin itu adalah pengingat bahwa pengorbanan yang tulus sering kali lahir dari keterbatasan. Guru yang mengajar dengan segala kekurangan tetap mampu membentuk murid-murid menjadi pribadi yang berdaya.
Janda miskin itu tahu bahwa dua peser adalah nafkah terakhirnya. Namun, ia memilih menyerahkan kenyamanan pribadinya demi sesuatu yang lebih besar. Ia memberi bukan karena ia berlebih, tetapi karena ia percaya bahwa memberi adalah wujud tertinggi dari iman.
Pak Naldo melihat hal ini dalam dirinya dan guru-guru lain. Mereka rela berjalan jauh, melewati jalanan berlumpur, mengorbankan waktu bersama keluarga, demi anak-anak bangsa. Pendidikan sering kali menuntut totalitas, dan seperti janda itu, para guru memberi segalanya.
Pengorbanan yang sejati bukanlah tentang memberi yang tersisa, melainkan memberi yang diperlukan. Janda itu tidak memberi dari kelimpahan, melainkan dari kekurangannya. Dalam keterbatasan, ia menjadi simbol keberanian dan pengorbanan.
Demikian pula dengan guru-guru di desa kecil itu. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sering kali diabaikan. Namun, kontribusi mereka jauh melampaui apa yang terlihat di permukaan.
Pak Naldo merenungkan kisah janda miskin sebagai sebuah spiritualitas. Guru bukan hanya profesi, tetapi panggilan untuk memberi hidup kepada orang lain. Seperti janda itu, seorang guru adalah orang yang tulus, memberi dengan cinta, tanpa mengharapkan balasan.
Di tengah kesulitan, janda miskin itu menunjukkan bahwa pengorbanan adalah dasar dari persatuan. Para guru yang bergabung dalam Persatuan Guru Republik Indonesia memahami hal ini. Mereka bersatu bukan karena kekayaan, tetapi karena semangat bersama untuk mendidik dan memajukan bangsa.
Janda miskin itu mungkin tidak dianggap oleh masyarakat di sekitarnya, tetapi ia memiliki kualitas kemanusiaan yang tinggi. Ia mengajarkan bahwa keberanian dan ketulusan adalah hal terpenting dalam hidup.
Hari Guru adalah momen untuk merenungkan panggilan seorang pendidik. Kisah Janda Miskin mengajarkan bahwa guru adalah simbol pengorbanan dan ketulusan. Seperti janda itu, guru memberi hidup mereka untuk murid-muridnya, tanpa pamrih.
Persatuan Guru adalah manifestasi dari semangat Janda Miskin. Dalam keterbatasan, mereka bersatu untuk mendidik bangsa, mewujudkan pengorbanan demi masa depan yang lebih baik.
Pak Naldo menutup buku catatannya dengan senyum. Ia tahu bahwa ia hanyalah satu di antara banyak guru yang tak dikenal, tetapi ia percaya bahwa setiap pengorbanan kecil memiliki arti besar di mata Tuhan. Seperti janda miskin itu, ia memberi dari hatinya.
Oleh Yudel Neno, Pr (Ditulis pada 25 November 2024), untuk mengenang Hari Guru dan PGRI)
Tinggalkan Komentar